EconomyEditor's Pick

Ketika Sungai Dilenyapkan Demi Mall: Boleh Menurut Siapa? Salah Menurut Apa?

Jambi, 02 Mei 2025 — Di sebuah kawasan padat di Simpang III Sipin, berdiri megah sebuah pusat perbelanjaan. Dari luar, bangunan itu tampak mewah. Tapi di belakangnya, air tak lagi mengalir ke sungai—melainkan masuk ke rumah warga.

Genangan setinggi lutut kerap muncul bahkan saat hujan berlangsung hanya 30 menit. Banjir bukan lagi bencana tahunan. Ia berubah menjadi rutinitas yang menghantui warga di RT 21 hingga RT 23, di gang-gang kecil yang terhubung ke jalan utama. Masjid, rumah, hingga warung kopi tergenang. Air dari mana? Dari atas. Dari tempat yang dulunya mengalir—dan kini telah ditutup.

“Dulu di sana ada sungai, sekarang jadi mall.”

Pernyataan itu datang dari salah seorang warga, seorang warga yang sudah lama tinggal di sekitar kawasan tersebut. Ia masih ingat ketika anak sungai kecil itu dulu digunakan warga untuk mandi dan mencuci. Tapi kini, jalur air itu tak terlihat lagi. Ditutup. Dilenyapkan. Diganti beton.

“Kalau hujan deras, air langsung cari jalur sendiri,” ujarnya. “Dan jalur itu, sekarang, rumah kami.”

Lalu, pertanyaannya: Bolehkah sungai ditutup demi proyek bisnis?

Jawaban sederhananya: tidak.

Tapi di lapangan, praktik ini sudah jadi “normal baru” di berbagai kota—dan Jambi tak terkecuali.

Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, sungai adalah milik publik, bukan boleh seenaknya dialihkan atau ditutup oleh swasta. Sementara Permen PUPR No. 28 Tahun 2015 menyebutkan bahwa sempadan sungai minimal 10–30 meter dari tepi aliran harus bebas dari bangunan permanen.

Namun realitanya, alur air di kawasan itu telah dikubur di bawah bangunan. Tidak tampak kolam retensi. Tidak ada ruang terbuka hijau. Tidak pula ditemukan drainase alami yang berfungsi maksimal.

Dampaknya nyata: rakyat yang kebanjiran, bisnis yang tetap berjalan.

Ironi ini menggambarkan kegagalan tata kota yang lebih mementingkan “investasi” daripada keselamatan ruang hidup warga. Ketika sungai tak lagi punya tempat, maka air mencari jalannya—dan rakyatlah yang pertama kali menerima risikonya.

Perkumpulan L.I.M.B.A.H Provinsi Jambi mencatat, dalam 3 tahun terakhir, banjir lokal di kawasan permukiman sekitar mal tersebut meningkat tajam. Bahkan masjid setempat sempat membatalkan salat Idul Fitri karena air masuk ke dalam ruang ibadah.

“Ini bukan banjir karena cuaca,” kata Andrew Sihite, Ketua L.I.M.B.A.H.
“Ini banjir karena tata ruang yang dilanggar dan sungai yang dikorbankan.”

L.I.M.B.A.H: Sungai Tidak Boleh Jadi Korban Investasi

Dalam pernyataannya, Perkumpulan L.I.M.B.A.H menegaskan bahwa:

  • Penutupan aliran sungai untuk proyek komersial melanggar prinsip dasar keadilan ekologis.
  • Pemerintah daerah harus melakukan audit menyeluruh terhadap izin proyek-proyek yang berdiri di atas jalur air.
  • Warga harus dilindungi dari dampak lingkungan proyek yang tidak taat terhadap AMDAL dan aturan tata ruang.

“Kami bukan anti pembangunan. Tapi kami tolak pembangunan yang menjadikan rakyat sebagai kantong penampung air.”
Kang Maman, Wakil Ketua L.I.M.B.A.H Provinsi Jambi

Solusinya bukan hanya teknis, tapi politis dan etis

Menurut L.I.M.B.A.H, solusi jangka pendek seperti memperlebar drainase tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah:

  • Restorasi aliran air alami (re-open drain)
  • Pembangunan kolam retensi permanen di kawasan padat beton
  • Revisi izin dan tata ruang, khususnya kawasan yang menyempitkan sempadan sungai
  • Pemberian sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang terbukti melanggar

Karena jika kita diam, genangan hari ini akan jadi tenggelam esok hari.

Pembangunan harus adil. Sungai harus dihormati. Dan rakyat harus didengarkan. Bukan hanya ketika air masuk ke rumah, tapi sejak aliran airnya dialihkan tanpa suara.

DISCLAIMER:
Artikel ini disusun oleh Perkumpulan L.I.M.B.A.H Provinsi Jambi sebagai bagian dari advokasi publik berdasarkan data lapangan, regulasi yang berlaku, serta kesaksian warga terdampak. Seluruh isi dimaksudkan untuk mendorong transparansi, akuntabilitas tata ruang, dan perlindungan lingkungan hidup. Pihak yang disebut secara tidak langsung dalam konteks umum dipersilakan menggunakan hak jawab sesuai prinsip jurnalistik dan ruang demokrasi yang sehat.

Disusun oleh:
Perkumpulan L.I.M.B.A.H Provinsi Jambi
Advokasi untuk Ruang Hidup dan Keadilan Lingkungan

Andrew Sihite – Kang Maman – Ruswandi Idrus

Divisi Hukum : Adv. Aang Setia Budi

Kontak: 0816.3278.9500 | 0821.7124.2918

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *